Penulis : HAMDANI
HAMDANI, Kader HmI Hukum UIR yang mengambil fokus Studi di Bidang Hukum Tata Negara |
Lahirnya Perppu Ormas No 2 Tahun 2017
menimbulkan polemik di tengah masyarakat. Perppu ormas ini berbau diktator
sebagai cara pemerintah membubarkan ormas yang bertentangan dengan Pancasila
serta Undang-Undang Dasar 1945. Menariknya yang menjadi permasalahan dalam
perpu ormas tersebut adalah dengan tidak ada lagi peran pengadilan sebagai
lembaga Negara bagian yudikatif yang menjadi lembaga memutuskan bersalah atau
tidaknya sebuah ormas melalui proses hukum yang telah di tentukan dalam
Undang-undang.
Munculnya perppu ormas ini tidak terlepas
dari masalah Hizbut Tahrir Indonesia atau HTI yang diduga melakukan tindakan
anti NKRI. Tapi hal ini tentunya tidak bisa dilakukan secara sepihak oleh pemerintah.
Harusnya ada lembaga lain yang menjadi pemutus sebelum dikeluarkannya SK
pencabutan badan hukum ormas HTI yaitu pengadilan sebagai badan yang berwenang.
Bahkan tindakan pemerintah dianggap sepihak saja tanpa memperhatikan putusan pengadilan
terlebih dahulu.
Secara cukup cermat penulis melihat dan
membaca pasal demi pasal dalam Perppu ormas No 2 Tahun 2017 tersebut banyak kejanggalan ditemui. Diantaranya
banyak pasal dihapus, peran pengadilan dihilangkan, dan juga sanksi yang tidak etis
dicetuskan dalam perppu tersebut. Kurang lebih 19 pasal di hapuskan dengan
alasan pemerintah bahwa perlu perubahan pasal dan penghapusan yang tidak sesuai
lagi. Kemudian daripada itu, pemerintah sendiri tidak menjalankan pasal yang
terdapat dalam Perppu tersebut. Yang mana dalam pasal 61 ayat tentang sanksi
administrativ harusnya pemerintah memberikan peringatan tertulis sebelum
mencabut status badan hukum dari suatu ormas. Pemerintah hanya mengacu pada
pasal 80A dan melupakan pasal yang lainnya.
Jadi langkah pemerintah ini dianggap
bertentangan dengan perppu yang telah di keluarkannya sendiri. Langkah pemerintah
ini pun dapat dikatakan Inkonstitusional. Mengapa demikian? Pemerintah harusnya memahami perppu
yang telah dikeluarkannya. Apakah pemerintah tidak paham mekanisme ataukah ada
unsur politis yang lain. Harusnya pemerintah bisa melakukan langkah persuasiv dengan cara memanggil ormas yang diduga
bertentangan dengan Pancasila. Kemudian juga dapat dilakukan dengan cara
peringatan tertulis dan juga penghentian kegiatan sebelum melakukan langkah
pencabutan badan hukumnya. Meskipun pemerintah tidak mencantumkan pengadilan,
tetapi harusnya mengacu pada pasal 61 terlebih dahulu.
Lalu
bagaimana langkah DPR?
DPR sebagai lembaga legislatif tentunya mempunyai
peran dalam Perppu ini untuk menjadi undang-undang. Hal ini sudah cukup jelas
di atur dalam Undang-undang no 12 Tahun 2011 tepatnya pada pasal 71 yang dapat
dikatakan bahwa DPR bisa menolak Perppu ormas tersebut menjadi undang-undang
melalui mekanisme khusus dan dengan RUU pencabutannya. DPR sebagai badan
perwakilan rakyat harus mampu melihat dan memahami efek baik positif maupun
negative dari adanya perppu ormas tersebut. Memang sebelum diajukan ke rapat
paripurna DPR ada juga ormas dan pihak tertentu yang melakukan uji materi
terhadap perppu ormas tersebut.
Penulis melihat banyak partai yang lebih
mendukung kebijakan pemerintah ini. Dengan demikian langkah perppu untuk
menjadi undang-undang tidaklah rumit. Sebagaimana kita ketahui bahwa DPR
lembaga politik, tentunya kekuatan politik bisa berpengaruh kuat terhadap hasil
dari rapat DPR nantinya. Oleh sebab itu setelah DPR menerima draft perppu ormas
tersebut, maka perlu dipelajari lebih dalam agar di lihat sejauh mana pengaruh
serta manfaat perppu tersebut.
Bagaimana
jika perppu disetujui DPR?
Jika DPR menyetujui perpu ormas untuk menjadi
undang-undang, masih ada langkah berikutnya untuk menguji undang-undang ke MK.
Hal ini pun tergantung dari pengujian perppu yang saat ini sedang berjalan.
Jika uji perppu ormas ditolak MK maka akan tergantung dari DPR nantinya.
Sejatinya proses ini cukup berbelit-belit.
Dimana DPR juga menunggu uji materi perppu ormas
yang diajukan oleh para pemohon nantinya. Penulis juga berpendapat jika nanti
perppu yang diuji ditolak MK dan DPR menyetujuinya menjadi undang-undang akan
berakibat kebijakan yang sewenang-wenang dari pemerintah. Bahkan jika nanti ada
suatu ormas yang mana para anggotanya tidak ikut atau tidak setuju atas
tindakan pimpinan ormasnya juga dikenakan sanksi. Disinilah letak kekhawatiran
penulis terhadap perppu ormas ini. Sekira MK cermat dalam memutuskan dan DPR
cermat dalam berfikir agar menjadi Dewan Perwakilan Rakyat bukan menjadi Dewan
Perwakilan Rekayasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Daerah bebas berekpresi...!!! Silakan berkomentar semaunya asal tidak mengandung unsur SARA (Suku, Agama, Ras dan Antargolongan), Komentar yang mengandung Unsur SARA akan dihapus.
TTD
REKI WAHYUDI
Admin Blog HmI Hukum UIR