Penulis : Ridho Imam Ashari
Kanda Ridho Imam Ashari, Kabid P3A HmI Komisariat Hukum UIR |
Bismillahirrohmanirrohim
Dalam abad teknologi
yang menyongsong serba modern ini ada ajaran islam yang cukup menarik
diperhatikan. Ajaran itu adalah tentang taubat. Dalam konsep taubat, disebutkan
bahwa apabila seseorang benar – benar taubat (sering disebut taubat nasuha),
maka hapuslah segala dosa orang itu di sisi Tuhan. Pengertian taubat yang
demikian ini, agaknya telah diserap oleh berbagai kalangan umat islam, sehingga
akhirnya telah berujud suatu warna tingkah laku keagamaan.
Tentu saja kalangan
umat islam telah memberikan penafsiran terhadap konsep taubat berdasarkan
kesejarahan dan pengalaman keagamaan serta budaya masing – masing. Tetapi dari
sekian penafsiran yang terjadi, yang menarik adalah timbulnya suatu tingkah laku
yang mencoba membuat garis pemisah antara ketaatan beribadah (agama) dengan
perbuatan sosial (politik). Dengan adanya taubat yang akan menebus segala dosa,
maka ada golongan yang berpandangan, tidak ada masalah melakukan berbagai
kejahatan (dosa) sekarang ini, asal nanti sebelum mati dapat taubat dengan
segera. Dengan demikian, mereka tidak merasa perlu melakukan ibadah dari
sekarang. Begitu pula, tidak perlu berbuat baik dari sekarang. Nanti, setelah
tua atau setelah pensiun, lakukanlah ibadah dengan baik, kemudian taubatlah.
Penganut penafsiran
taubat seperti ini meskipun belum sampai membentuk suatu aliran yang resmi,
tetapi jumlahnya masih banyak yang menganut pemahaman sekularisme. Para
penguasa (machtsstaat), sangat mudah kena pengaruh pandangan ini. Karena itu, mereka tidak merasa apa-apa melakukan korupsi, kolusi dan
nepotisme semasa berkuasa. Sebab, mereka berharap nanti setelah kaya raya
dan pensiun, mereka akan taat beribadah, lalu kalau mungkin naik haji dan
berakhir taubat. Dengan demikian, menurut mereka habislah segala dosa yang
dilakukan semasa jadi pejabat atau wakil rakyat. Begitu pula kalangan lainnya,
seperti pelaku dosa judi, zina, minuman keras dan narkotik. Mereka berpikir,
semua dosa ini akan hapus kelak, setelah mereka taubat.
Apabila agama dan politik
terpisah maka kekacauan dan kehancuran terjadi. Kalau engkau berikan kekuasaan pada orang yang zalim maka engkau ikut
bersekongkol dalam kezaliman itu. Pandangan atau tingkahlaku keagamaan
seperti ini, amat membahayakan citra islam dalam medan kehidupan di zaman kehidupan ini. Perbuatan ini sebenarnya sekularisme, yang
memishkan antara ibadah (agama) dengan perbuatan sosial (politik).
Dalam sekularisme agama
dengan negara (politik), fungsi agama sudah terang tidak akan mencampuri urusan
negara. Bahkan, para warga disamping bebas memilih agama, tidak beragama juga
tidak apa-apa. Bila agama tidak
menyentuh masalah politik, sosial, ekonomi, pengetahuan umum, lalu apa yang
disentuh agama ?
Pada hakekatnya dalam
sekularisme negara dengan agama, jika pemeluk (umat islam) menjalankan syariat
dengan baik, tentu sekularisme itu tidak bernilai apa-apa terhadap mereka.
Inilah yang terjadi dalam kehidupan umat islam, semasa mereka berada dalam cengkraman negara komunis, seperti muslim
checnya, bosnia dan kosovo. Sementara di negara-negara barat yang menganut
sekularisme agama dan negara, islam malah berkembang dengan baik. Ini terjadi,
karena mereka tidak memisahkan antara ibadah dengan tindakan sosial. Ibadah
mereka sekaligus terlukis dalam perbuatan.
Keadaan ini akan
semakin menarik, ketika kita menoleh pada kualitas umat islam indonesia. Negara ini, sudah mayoritas memeluk islam,
dipimpin pula oleh pejabat dan wakil rakyat yang mayoritas islam. Tetapi, bekas
ajaran islam yang baik dan cemerlang, hampir tak dijumpai dalam realitas kehidupan.
Justru, di negara inilah dijumpai orang yang paling serakah dan para penguasa
yang ambisinya sampai mati, sehingga hampir tak ada peluang generasi muda islam
tampil ke depan.
Disinilah berlaku
korupsi dengan skala besar, yang berlangsung dengan aman, karena yang
merancangnya adalah para elite partai berpaham sekularis. Di negara ini pulalah berlaku kolusi dan
nepotisme dengan begitu rancak. Akibatnya, tak ada peluang lagi bagi generasi
muda islam yang bersih dan punya iktikad baik untuk memberi marwah bagi negara
ini. Oleh karena itu, tak heranlah jika Taufik Ismail pelopor Sastrawan
Angkatan 66 itu, sampai menarik nafas panjang “malu aku jadi warga Indonesia”. Konklusi yang tepat dari uraian di atas adalah agama dan politik tidak bisa dipisahkan.
Penulis: Ridho Imam Ashari.
Ketua Bidang Penelitian, Pengembangan dan Pembinaan Anggota HmI Komsat Hukum UIR
Ketua Bidang Penelitian, Pengembangan dan Pembinaan Anggota HmI Komsat Hukum UIR
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Daerah bebas berekpresi...!!! Silakan berkomentar semaunya asal tidak mengandung unsur SARA (Suku, Agama, Ras dan Antargolongan), Komentar yang mengandung Unsur SARA akan dihapus.
TTD
REKI WAHYUDI
Admin Blog HmI Hukum UIR