SELAMAT DATANG DIBLOG RESMI HMI KOMISARIAT HUKUM UIR, TERIMAKASIH TELAH MENGUNJUNGI...!!!

Minggu, 19 November 2017

Agama dan Politik, Terpisah???

 Kategori : Tulisan 
 Penulis : Ridho Imam Ashari 

Kanda Ridho Imam Ashari, Kabid P3A HmI Komisariat Hukum UIR

Bismillahirrohmanirrohim

Dalam abad teknologi yang menyongsong serba modern ini ada ajaran islam yang cukup menarik diperhatikan. Ajaran itu adalah tentang taubat. Dalam konsep taubat, disebutkan bahwa apabila seseorang benar – benar taubat (sering disebut taubat nasuha), maka hapuslah segala dosa orang itu di sisi Tuhan. Pengertian taubat yang demikian ini, agaknya telah diserap oleh berbagai kalangan umat islam, sehingga akhirnya telah berujud suatu warna tingkah laku keagamaan.

Tentu saja kalangan umat islam telah memberikan penafsiran terhadap konsep taubat berdasarkan kesejarahan dan pengalaman keagamaan serta budaya masing – masing. Tetapi dari sekian penafsiran yang terjadi, yang menarik adalah timbulnya suatu tingkah laku yang mencoba membuat garis pemisah antara ketaatan beribadah (agama) dengan perbuatan sosial (politik). Dengan adanya taubat yang akan menebus segala dosa, maka ada golongan yang berpandangan, tidak ada masalah melakukan berbagai kejahatan (dosa) sekarang ini, asal nanti sebelum mati dapat taubat dengan segera. Dengan demikian, mereka tidak merasa perlu melakukan ibadah dari sekarang. Begitu pula, tidak perlu berbuat baik dari sekarang. Nanti, setelah tua atau setelah pensiun, lakukanlah ibadah dengan baik, kemudian taubatlah.

Penganut penafsiran taubat seperti ini meskipun belum sampai membentuk suatu aliran yang resmi, tetapi jumlahnya masih banyak yang menganut pemahaman sekularisme. Para penguasa (machtsstaat), sangat mudah kena pengaruh pandangan ini. Karena itu, mereka tidak merasa apa-apa melakukan korupsi, kolusi dan nepotisme semasa berkuasa. Sebab, mereka berharap nanti setelah kaya raya dan pensiun, mereka akan taat beribadah, lalu kalau mungkin naik haji dan berakhir taubat. Dengan demikian, menurut mereka habislah segala dosa yang dilakukan semasa jadi pejabat atau wakil rakyat. Begitu pula kalangan lainnya, seperti pelaku dosa judi, zina, minuman keras dan narkotik. Mereka berpikir, semua dosa ini akan hapus kelak, setelah mereka taubat.

Apabila agama dan politik terpisah maka kekacauan dan kehancuran terjadi. Kalau engkau berikan kekuasaan pada orang yang zalim maka engkau ikut bersekongkol dalam kezaliman itu. Pandangan atau tingkahlaku keagamaan seperti ini, amat membahayakan citra islam dalam medan kehidupan di zaman kehidupan ini. Perbuatan ini sebenarnya sekularisme, yang memishkan antara ibadah (agama) dengan perbuatan sosial (politik).

Dalam sekularisme agama dengan negara (politik), fungsi agama sudah terang tidak akan mencampuri urusan negara. Bahkan, para warga disamping bebas memilih agama, tidak beragama juga tidak apa-apa. Bila agama tidak menyentuh masalah politik, sosial, ekonomi, pengetahuan umum, lalu apa yang disentuh agama ?

Pada hakekatnya dalam sekularisme negara dengan agama, jika pemeluk (umat islam) menjalankan syariat dengan baik, tentu sekularisme itu tidak bernilai apa-apa terhadap mereka. Inilah yang terjadi dalam kehidupan umat islam, semasa mereka berada dalam  cengkraman negara komunis, seperti muslim checnya, bosnia dan kosovo. Sementara di negara-negara barat yang menganut sekularisme agama dan negara, islam malah berkembang dengan baik. Ini terjadi, karena mereka tidak memisahkan antara ibadah dengan tindakan sosial. Ibadah mereka sekaligus terlukis dalam perbuatan.

Keadaan ini akan semakin menarik, ketika kita menoleh pada kualitas umat islam indonesia. Negara ini, sudah mayoritas memeluk islam, dipimpin pula oleh pejabat dan wakil rakyat yang mayoritas islam. Tetapi, bekas ajaran islam yang baik dan cemerlang, hampir tak dijumpai dalam realitas kehidupan. Justru, di negara inilah dijumpai orang yang paling serakah dan para penguasa yang ambisinya sampai mati, sehingga hampir tak ada peluang generasi muda islam tampil ke depan.

Disinilah berlaku korupsi dengan skala besar, yang berlangsung dengan aman, karena yang merancangnya adalah para elite partai berpaham sekularis. Di negara ini pulalah berlaku kolusi dan nepotisme dengan begitu rancak. Akibatnya, tak ada peluang lagi bagi generasi muda islam yang bersih dan punya iktikad baik untuk memberi marwah bagi negara ini. Oleh karena itu, tak heranlah jika Taufik Ismail pelopor Sastrawan Angkatan 66 itu, sampai menarik nafas panjang “malu aku jadi warga Indonesia”. Konklusi yang tepat dari uraian di atas adalah agama dan politik tidak bisa dipisahkan.

Penulis: Ridho Imam Ashari.
Ketua Bidang Penelitian, Pengembangan dan Pembinaan Anggota HmI Komsat Hukum UIR
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Daerah bebas berekpresi...!!! Silakan berkomentar semaunya asal tidak mengandung unsur SARA (Suku, Agama, Ras dan Antargolongan), Komentar yang mengandung Unsur SARA akan dihapus.

TTD

REKI WAHYUDI
Admin Blog HmI Hukum UIR