Selayang Pandang:
“Pelaku KARHUTLA, Pantaskah Hukuman Mati atau Tidak ?”
Kategori : Tulisan Penulis : Ridho Imam Ashari
Kanda Ridho Imam Ashari, Demisioner Kabid P3A HmI Komisariat Hukum UIR |
Bismillahirrohmanirrohim
Tulisan ini berawal
dari kegelisan penulis atas terjadinya kebakaran hutan khususnya di Provinsi
Riau yang telah menelan korban bahkan anak bayi yang baru lahir. Pantas jika
penulis memulai tulisan ini dengan sebuah pameo Belanda yang artinya: “Seseorang pencuri kuda tidak digantung
karena ia mencuri kuda itu, tetapi ia digantung agar orang lain tidak ikut
mencuri kuda orang lain”.
Kebakaran hutan,
lagi-lagi ini mendapat sorotan setiap tahunnya setelah berdampak bagi kesehatan
masyarakat. Lantas, wajar saja jika kita
berfikir siapa yang akan mendapatkan keuntungan besar dari kejatahan yang telah
mendzholimi mahkluk yang ada dimuka bumi ini?? Karena, menurut pernyataan
Kepala BNPB karhutla terjadi karena ulah tangan manusia (human). Wajar juga kita
berfikir ulah tangan manusia yang mana?? ulah tangan manusia yang disuruh
perusahaan swasta (korporasi) atau ulah tangan perorangan??. Maka tak
mengherankan ketika Presiden Jokowi berkunjung ke Riau ia mengatakan “Kejahatan
Karhutla ini kejahatan terorganisir”.
Untuk menjawab
pertanyaan diatas, opini ini tidak hanya berlandaskan pada hukum positif
nasional, terutama konstitusi (UUD 1945) yang merupakan konsetrasi penulis,
namun juga hukum-hukum agama. Hukum nasional digunakan karena Indonesia negara
yang merdeka, termasuk merdeka dalam berhukum. Sedangkan hukum agama digunakan karena kebenaran dalam agama merupakan
kebenaran absolut yang berasal dari tuhan. Agar tidak dikatakan subjektif,
penulis tidak hanya mengutip ayat Al-qur’an tetapi juga ayat Injil.
Hukum
Positif Nasional & Hukum Agama
Salah satu alasan
mengapa pegiat HAM menolak hukuman mati adalah karena hukuman mati di
negara-negara lain sudah dihapuskan. Apakah begitu kerangka berfikir dalam
berhukum?? Perlu kita renungkan salah satu aliran utama dalam filsafat hukum, yaitu ajaran historis dari Carl von
Savigny bahwa “.... karena hukum itu
bersumber dari volgeist (jiwa bangsa). Oleh karena jiwa dari setiap bangsa
berbeda-beda, maka hukum dan semua unsur yang terkandung didalamnya pun berbeda
antara hukum bangsa satu dengan bangsa lainnya”.
Terlepas dari itu,
sebagai bangsa yang berdaulat, negara yang merdeka, kita harus berani berdiri
diatas kaki sendiri dengan menguatkan kepastian hukum yang lebih tegas dan
berat tidak hanya berbentuk sanksi administratif maupun pidana penjara bagi
pelaku kejahatan karhutla yang terutama pelaku nya adalah Korporasi. karena
menurut konstitusi UUD 1945 Pasal 28H yang berbunyi “Setiap orang berhak hidup
sejahtera lahir dan bathin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup
yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. Atas dasar
konstitusi inilah negara seharusnya membuat kepastian hukum yang lebih berat
seperti hukuman mati yang tidak takut atas tekanan korporasi yang rakus.
Jika dikaji lebih dalam
negara harus mengeluarkan uang puluhan miliar untuk memadamkan api dengan
mengkerahkan puluhan helikopter dan puluhan ton garam untuk memodifikasi hujan
buatan. Tak terbayangkan Negara harus mengeluarkan uang puluhan miliar, rakyat
disengsarakan asap ulah pengusaha (korporasi) yang rakus. Melihat dampak global
dari kebakaran hutan dan lahan ini wajar saja seharusnya (pelaku) dihukum mati
saja.
Kalau pegiat HAM yang kontra terhadap hukuman mati, yang
beranggapan bahwa mencabut nyawa adalah hak Tuhan. Apakah begitu?
Di dalam Qur’an Surat Al-Maidah ayat (33), ”Sesungguhnya
pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat
kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong
tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat
kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di
dunia dan di akhirat mereka memperoleh siksaan yang besar”.
Sedangkan di dalam Injil, Bilangan
35:16-18 disebutkan bahwa ”Pembunuh sudah pasti harus dibunuh”.
Dengan demikian,
seharusnya pemeritah daerah maupun pemerintah pusat harus membuat suatu
peraturan yang tegas dan berat bagi pelaku kejahatan karhutla ini karena berjuta umat manusia terdzholimi
akibat keuntungan dari kejahatan besar, agar peristiwa ini tidak terjadi
setiap tahun yang dapat menelan korban. Didalam
agama juga hukuman mati dapat dibenarkan, bukankah sebaik-baiknya hukum adalah
hukum Tuhan ??
Berdasarkan paparan di atas baik secara hukum nasional dan
hukum agama, kebijakan suatu pemerintah daerah maupun Presiden menerbitkan
peraturan yang berat agar korporasi atau pelaku usaha yang terjerat karhutla
mendapat hukuman setimpal, hal ini dimaksudkan agar menjadi pembelajaran bagi
yang lain agar tidak bermain api dengan yang namanya pembakaran hutan dan
lahan. Karena peristiwa ini bukanlah
Suatu Bencana tetapi Terencana.
Penulis: Ridho Imam Ashari.
Demisioner Ketua Bidang Penelitian, Pengembangan dan Pembinaan Anggota HmI Komsat Hukum UIR
Penulis: Ridho Imam Ashari.
Demisioner Ketua Bidang Penelitian, Pengembangan dan Pembinaan Anggota HmI Komsat Hukum UIR
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Daerah bebas berekpresi...!!! Silakan berkomentar semaunya asal tidak mengandung unsur SARA (Suku, Agama, Ras dan Antargolongan), Komentar yang mengandung Unsur SARA akan dihapus.
TTD
REKI WAHYUDI
Admin Blog HmI Hukum UIR