SELAMAT DATANG DIBLOG RESMI HMI KOMISARIAT HUKUM UIR, TERIMAKASIH TELAH MENGUNJUNGI...!!!

Minggu, 29 September 2019

Dinamika perjalanan RUU KUHP


Reki wahyudi - Departemen P3A HMI Komisatiat Hukum UIR.

Indonesia sudah 74 tahun mendeklarasikan diri sebagai bangsa yang merdeka, bebas dari pikiran dan tindakan kolonialisme. Namun kenyataannya masih ditemukan banyak hukum Negeri penjajah berlaku di sini. Seperti KUHP yang merupakan warisan pemerintah Hindia Belanda.

Bangsa Indonesia harus melihat perubahan zaman dengan memperhatikan agar sesuai dengan politik, keadaan, dan perkembangan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang bertujuan menghormati dan menjunjung tinggi HAM, berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Sehingga RUU KUHP diperlukan untuk menghadapi zaman sekarang dan masa mendatang.

Di Belanda hukum pidana terus berkembang dengan pesat mengikuti perubahan teknologi yang semakin canggih dan luasnya pola hubungan masyarakat. Hal ini menyebabkan perubahan KUHP di Nederland dilakukan setiap tahun, sehingga KUHP mereka tetap menjadi modern walaupun umurnya sudah lebih dari satu abad. Lain halnya di Indonesia, dengan KUHP yang sudah ketinggalan zaman, maka menjamurlah UU di luar KUHP, sehingga akibatnya adalah perundang-undangan pidana menjadi rancu, tumpang tindih, dan saling bertentangan.

Rancangan KUHP yang sudah disusun lebih dari setengah abad, tetapi tidak kunjung dibahas DPR karena banyaknya perbedaan pendapat. Kita tahu bahwa dalam hukum, pendapat sesama sarjana hukum bisa berbeda-beda. Maka prinsip-prinsip yang akan dijadikan semangat dalam KUHP baru juga sering berubah-ubah prosesnya selama ini. Akibatnya adalah perjalanan perancangan dan penyusunan draf pertama hingga draf yang kabarnya sampai hari ini masih terus intensif dibahas memang tidak selalu mulus.

Hal ini dapat dilihat dari sejarah singkat dalam RUU KUHP Sejak tahun 1963 lalu digelar seminar hukum nasional satu di Semarang dan seminar inilah awal dari sejarah pembaharuan KUHP di Indonesia di mana setahun kemudian mulai dirumuskan oleh tim pemerintah, namun konsep serta perumusan RUU KUHP ini berjalan lambat di mana dari tahun 1963 hingga 2015. Pada tahun 2015 presiden Jokowi mengeluarkan surat presiden pada 5 Juni 2015 mengenai kesiapan pemerintah dalam pembahasan KUHP ini. Pada tahun 2016 ada beberapa pasal yang pending pembahasannya namun puncaknya ini pada tahun 2019 di mana komisi III DPR RI dan pemerintah dalam hal ini Menteri Hukum dan HAM akhirnya mencapai kata sepakat terkait RUU KUHP di mana seluruh anggota komisi III yang hadir dalam rapat menyatakan sepakat. Jadi fit Indonesia akan memiliki KUHP karya anak bangsa. 

Walaupun sempat untuk segera disahkan, setidaknya masih ada beberapa polemik, sebutlah pengaturan tindak pidana kesusilaan(Zina, Kumpul Kebo, Pencabulan, dan Pelecehan), pemberlakuan hukum adat yang berhadapan dengan asas Legalitas pidana, penghinaan terhadap presiden dan tindak pidana makar, pemberlakuan hukuman mati, serta masuknya tindak pidana khusus seperti Korupsi dan Narkotika 

RUU KUHP bukan hanya supaya Mengganti Kitab lama menjadi Kitab baru, tetapi untuk merangkum usaha pembaharuan hukum pidana nasional yang berorientasi nilai. Prof. Barda Nawawi Arief (2011 : 29).

Semoga tulisan sederhana ini bermanfaat dan kritikan yang membangun dan cermat akan diterima dengan senang hati.

Penulis : Reki Wahyudi (mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Islam Riau) Semester 3

Selasa, 24 September 2019

Gubernur Lamban Atasi Karhutla, Kabut Asap Tak Kunjung Selesai



Reki Wahyudi Departemen P3A HMI Komisariat Hukum UIR.

            Pangkalan kerinci -Terhitung, sudah (15) hari kabut asap tebal menyelimuti Kabupaten Pelalawan. Hari pertamanya kabut asap terjadi pada hari senin (2/9/2019) dan sekarang senin (16/9/2019). Dari hari ke hari asap semakin berbahaya. Dari data ISPU (Index Standar Pencemaran Udara) Riau menunjukkan bahwa udara sudah berbahaya bagi manusia.
            Kabut asap terjadi akibat dari pembakaran hutan dan lahan (Karhutla) untuk membuka area kelapa sawit oleh masyarakat/perusahaan secara liar berdampak buruk bagi kesehatan, pendidikan, ekonomi, dll.
            Terutama karhutla ini terjadi di wilayah Provinsi Riau berdampak pada kualitas udara dengan kategori sedang hingga sangat tidak sehat terpantau di beberapa titik. Data rekapitulasi P3E Sumatra KLHK dan Dinas LHK Riau mencatat, Index Standar Pencemaran Udara (ISPU) tertinggi di wilayah Pekanbaru 269, Dumai 170, Rokan Hilir 141, Siak 125, Bengkalis 121, dan Kampar 113 sepanjang pukul 07.00-15.00 WIB.
             Luas lahan terbakar akibat karhutla di wilayah Riau menurut catatan BNPB yaitu seluas 49.266 hektar. Terdiri atas lahan gambut 40.553 ha dan mineral 8.713 ha. Karhutla yang masih terus berlangsung mengakibatkan dampak yang luas. Selain kerusakan lingkungan dan kesehatan juga aktivitas kehidupan warga masyarakat.
              Berdasarkan data BMKG Stasion Pekanbaru, jarak pandang pada sabtu pagi mencapai 1,5 kilometer. Daerah lain di Riau juga masih diselimuti asap, seperti Kabupaten Pelalawan jarak pandang hanya 800 meter, Rengat 300 meter, sedangkan di kota Dumai relatif membaik karena jarak pandang sampai 2 kilometer.
               Penulis menilai bahwa bencana akan lama karena jumlah lahan dan titik banyak, Aparatur kurang, Teknologi boleh dikatakan tak begitu ada, penegakkan hukum apalagi”.
                Kepada Gubernur kami sampaikan tolong tegas kepada perusahaan yang jelas lahannya terbakar untuk di berikan sanksi”.
                 Jika di pandang dari sudut sosiologi hukum, hukum secara normative dianggap gagal mengendali gejala sosial yang tengah terjadi di lingkungan masyarakat mengenai karhutla yang menimbulkan kabut asap dan berakibat buruk bagi penduduk.
                 Penulis mengimbau masyarakat harus sadar, penggunaan masker ini untuk mencegah agar tidak terkena penyakit ISPA termaksud paru-paru.
                Pemerintah telah gagal dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa karena menghambat proses di bidang pendidikan.

   Semoga Tuhan yang maha Esa melindungi warga maupun penduduk Riau dan Semoga bencana ini segera berlalu. Amin yra.

Penulis : Reki Wahyudi
Pembantu : Syahdi, SH


Senin, 23 September 2019

Selayang Pandang:
“Pelaku KARHUTLA, Pantaskah Hukuman Mati atau Tidak ?”
 Kategori : Tulisan 
 Penulis : Ridho Imam Ashari 
Kanda Ridho Imam Ashari, Demisioner Kabid P3A HmI Komisariat Hukum UIR

Bismillahirrohmanirrohim

Tulisan ini berawal dari kegelisan penulis atas terjadinya kebakaran hutan khususnya di Provinsi Riau yang telah menelan korban bahkan anak bayi yang baru lahir. Pantas jika penulis memulai tulisan ini dengan sebuah pameo Belanda yang artinya: “Seseorang pencuri kuda tidak digantung karena ia mencuri kuda itu, tetapi ia digantung agar orang lain tidak ikut mencuri kuda orang lain”.

Kebakaran hutan, lagi-lagi ini mendapat sorotan setiap tahunnya setelah berdampak bagi kesehatan masyarakat. Lantas, wajar saja jika kita berfikir siapa yang akan mendapatkan keuntungan besar dari kejatahan yang telah mendzholimi mahkluk yang ada dimuka bumi ini?? Karena, menurut pernyataan Kepala BNPB karhutla terjadi karena ulah tangan manusia (human). Wajar juga kita berfikir ulah tangan manusia yang mana?? ulah tangan manusia yang disuruh perusahaan swasta (korporasi) atau ulah tangan perorangan??. Maka tak mengherankan ketika Presiden Jokowi berkunjung ke Riau ia mengatakan “Kejahatan Karhutla ini kejahatan terorganisir”.

Untuk menjawab pertanyaan diatas, opini ini tidak hanya berlandaskan pada hukum positif nasional, terutama konstitusi (UUD 1945) yang merupakan konsetrasi penulis, namun juga hukum-hukum agama. Hukum nasional digunakan karena Indonesia negara yang merdeka, termasuk merdeka dalam berhukum. Sedangkan hukum agama digunakan karena kebenaran dalam agama merupakan kebenaran absolut yang berasal dari tuhan. Agar tidak dikatakan subjektif, penulis tidak hanya mengutip ayat Al-qur’an tetapi juga ayat Injil.

Hukum Positif Nasional & Hukum Agama

Salah satu alasan mengapa pegiat HAM menolak hukuman mati adalah karena hukuman mati di negara-negara lain sudah dihapuskan. Apakah begitu kerangka berfikir dalam berhukum?? Perlu kita renungkan salah satu aliran utama dalam filsafat hukum, yaitu ajaran historis dari Carl von Savigny bahwa “.... karena hukum itu bersumber dari volgeist (jiwa bangsa). Oleh karena jiwa dari setiap bangsa berbeda-beda, maka hukum dan semua unsur yang terkandung didalamnya pun berbeda antara hukum bangsa satu dengan bangsa lainnya”.   

Terlepas dari itu, sebagai bangsa yang berdaulat, negara yang merdeka, kita harus berani berdiri diatas kaki sendiri dengan menguatkan kepastian hukum yang lebih tegas dan berat tidak hanya berbentuk sanksi administratif maupun pidana penjara bagi pelaku kejahatan karhutla yang terutama pelaku nya adalah Korporasi. karena menurut konstitusi UUD 1945 Pasal 28H yang berbunyi “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan bathin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. Atas dasar konstitusi inilah negara seharusnya membuat kepastian hukum yang lebih berat seperti hukuman mati yang tidak takut atas tekanan korporasi yang rakus.

Jika dikaji lebih dalam negara harus mengeluarkan uang puluhan miliar untuk memadamkan api dengan mengkerahkan puluhan helikopter dan puluhan ton garam untuk memodifikasi hujan buatan. Tak terbayangkan Negara harus mengeluarkan uang puluhan miliar, rakyat disengsarakan asap ulah pengusaha (korporasi) yang rakus. Melihat dampak global dari kebakaran hutan dan lahan ini wajar saja seharusnya (pelaku) dihukum mati saja.

Kalau pegiat HAM yang kontra terhadap hukuman mati, yang beranggapan bahwa mencabut nyawa adalah hak Tuhan. Apakah begitu?

Di dalam Qur’an Surat Al-Maidah ayat (33), ”Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di dunia dan di akhirat mereka memperoleh siksaan yang besar”.

Sedangkan di dalam Injil, Bilangan 35:16-18 disebutkan bahwa ”Pembunuh sudah pasti harus dibunuh”.

Dengan demikian, seharusnya pemeritah daerah maupun pemerintah pusat harus membuat suatu peraturan yang tegas dan berat bagi pelaku kejahatan karhutla ini karena berjuta umat manusia terdzholimi akibat keuntungan dari kejahatan besar, agar peristiwa ini tidak terjadi setiap tahun yang dapat menelan korban. Didalam agama juga hukuman mati dapat dibenarkan, bukankah sebaik-baiknya hukum adalah hukum Tuhan ??

Berdasarkan paparan di atas baik secara hukum nasional dan hukum agama, kebijakan suatu pemerintah daerah maupun Presiden menerbitkan peraturan yang berat agar korporasi atau pelaku usaha yang terjerat karhutla mendapat hukuman setimpal, hal ini dimaksudkan agar menjadi pembelajaran bagi yang lain agar tidak bermain api dengan yang namanya pembakaran hutan dan lahan. Karena peristiwa ini bukanlah Suatu Bencana tetapi Terencana. 

Penulis: Ridho Imam Ashari.
Demisioner Ketua Bidang Penelitian, Pengembangan dan Pembinaan Anggota HmI Komsat Hukum UIR