SELAMAT DATANG DIBLOG RESMI HMI KOMISARIAT HUKUM UIR, TERIMAKASIH TELAH MENGUNJUNGI...!!!

Rabu, 22 November 2017

Bendera HmI Berkibar di Fakultas Hukum UIR

 Kategori : Berita 
 Reporter : Evi Yanti 


Evi Yanti, Kohati Hukum UIR yang tenar dengan Jargon "BIKES" Nya.

Pada hari ini Himpunan Mahasiswa Islam komisariat Hukum UIR mengadakan Diskusi publik yang berlangsung di ruang 108 FH UIR. Acara ini berlangsung pada 02 rabiul awwal 1439 H dan bertepatan dengan 21 november 2017 M  tepatnya  di Ruang 108 FH UIR.  Dengan di hadiri oleh ratusan mahasiswa dan mahasiswi Dari berbagai fakultas namun lebih di dominasi oleh mahasiswa dan mahasiswi fakultas Hukum. Acara ini berjalan dengan sangat meriah dan berjalan cukup khidmat dari awal hingga akhir acara. Tema yang di usung dalam diskusi publik kali ini adalah menumbuhkan insan yang berjiwa patriotisme dan bernasionalisme sebagai generasi bangsa.

Mahasiswa merupakan agent of change dan agent of control, berangkat dari opini tersebut sehingga tema tersebut yang menjadi tema diskusi publik kali ini dan merupakan refleksi dari peringatan hari pahlawan beberapa minggu yang lalu.

Acara ini berjalan dengan lancar berkat usaha keras yang di lakukan oleh Ketua pelaksana, ketua Pelaksana dalam Hal ini di prakarsai oleh Adinda Zulfahmi. Yakni kader yang baru LK beberapa bulan yang lalu,  karena keuletan dan kegigihannga bersama partner Yang tak kalah Hebat yakni adinda Anju eko prasetyo capah dan adinda abdul Hafiz.
 
Kegiatan ini menghadirkan Pemateri kondang dari TNI yakni bapak Brigjend Edy natar Nasution. S.IP Namun sangat di sayangkan dalam kesempatan kali ini Beliau tidak bisa di hadir di tengah tengah Acara diskusi publik yang di taja oleh HMI komisariat Hukum UIR di karena kan ada kesibukan yang meski di selesaikan dan tidak bisa di wakilkan sehingga posisi Beliau di gantikan oleh Kolonel infentry Agus budi S.IP.

Dan pemateri kondang berikut nya adalah Dosen - dosen Muda fakultas Hukum UIR yakni kakanda Dr. Muhammad Nurul Huda S.H., M.H yakni pakar Hukum Pidana dan Dosen Muda Fakultas Hukum UIR, dan yang tidak kalah kondang adalah Bapak Wira Atma Hajri S.H., M.H, beliau merupakan dosen dalam bidang Ilmu tatanegara di Fakultas Hukum UIR.  Dalam acara diskusi publik tersebut di Moderatori oleh mahasiswa fakultas hukum yang merupakan Kader terbaik HMI komisariat Hukum UIR yakni Demisioner Bendahara Umum Komisariat Hukum UIR periode 2014-2015. Yakni kakanda Musaher CSH. Para pemateri kondang tersebut memaparkan Materi sesuai dengan keahlian di bidang nya masing masing.

Acara diskusi tersebut berjalan dengan meriah karena Salah satu pemateri dalam memaparkan Materi nya selalu di selingi dengan candaan ringan yang mengundang gelak tawa dari peserta seperti yang di katakan oleh Bapak Wira Atma Hajri bahwa Foto di spanduk di muka FH UIR merupakan bentuk dari sebuah pencitraan yang spontanitas langsung mengundang gelak tawa para peserta Diskusi.

HMI komisariat hukum UIR mencoba untuk mengembalikan budaya Diskusi yang dulu rutinan di laksanakan berbagai komisariat, yang kini mulai menghilang. Gagasan ini bertujuan untuk mengembalikan semangat para kader kader HMI dalam berdiskusi dan nantinya  buah dari diskusi ini bisa membuahkan hasil yang luar biasa.  Dan ini merupakan diskusi yang inshaa allah akan berkelanjutan sehingga nanti nya akan menambah wawasan kader HMI pada khusus nya dan wawasan bahinseluruh Mahasiswa yang berada di pekanbaru. 



HMI TAJA DISKUSI PUBLIK

 Kategori : Berita 
 Reporter : Affrizon Zuhdi 

Affrizon Zuhdi, Kabid PTKP HmI Komisariat Hukum UIR

Himpunan Mahasiswa Islam (HmI) cabang pekanbaru komisarat hukum universitas islam riau (UIR) Menaja diskusi public dengan mengangkat tema “menumbuh insan yang berjiwa patriotisme dan nasionalisme sebagai generasi bangsa”. (Selasa, 21/11/2017)

Diskusi publik ini sengaja dihelat dalam rangka sempena hari pahlawan nasional sehingga rasa kecintaan para mahasiswa / i terhadap Indonesia serta menumbuhkan kesadaran mahasiswa / i akan kondisi bangsa.

Seperti yang diutarakan oleh Zulfahmi selaku ketua pelaksana bahwa diskusi ini diadakan supaya nantinya diharapkan adanya kesadaran dan kecintaan teman-teman mahasiswa / i kepada Negara yang merdeka pada tahun 1945 yang silam.

Acara tersebut menghadirkan pembicara Brigjend Edi Natar Nasution, S.IP Selaku tentara Nasional Indonesia sebagai garda terdepan mempertahankan NKRI, Dr. Muhammad Nurul Huda, S.H., M.H yang menjadikan korelasi Nasionalisme dengan Hukum yang dianut Indonesia Kemudian Wira atma Hajri, S.H., M.H yang menambahkan wawasan keislaman yang mana ia mempunyai basic pesantren.

“sengaja kami mengundang pak Edi, Nurul Huda, dan Wira untuk mengkorelasikan Nasionalisme, Hukum dan Juga Islam sehingga kita peserta diskusi tidak memandang dari satu sisi saja” Ujar Ricky Amir (Ketua Umum HmI Komisariat Hukum UIR).

Diskusi itu diadakan digedung A Fakultas Hukum Universitas Islam Riau ruang 1.08, Kursi yang disediakan oleh panitia hampir diisi penuh oleh peserta dan juga tamu undangan.

Para peserta terlihat antusias terbukti banyaknya peserta diskusi yang ingin mengajukan pertanyaan, akan tetepi disebabkan oleh waktu yang mepet maka moderator acara berinisiatif membatasi pertanyaan hanya 3 (Tiga) orang.

Diskusi publik ini diakhiri oleh sesi foto bersama dengan pembicara, sebagian peserta, dan seluruh kader HmI komisarita Hukum UIR yang Hadir.

Minggu, 19 November 2017

Agama dan Politik, Terpisah???

 Kategori : Tulisan 
 Penulis : Ridho Imam Ashari 

Kanda Ridho Imam Ashari, Kabid P3A HmI Komisariat Hukum UIR

Bismillahirrohmanirrohim

Dalam abad teknologi yang menyongsong serba modern ini ada ajaran islam yang cukup menarik diperhatikan. Ajaran itu adalah tentang taubat. Dalam konsep taubat, disebutkan bahwa apabila seseorang benar – benar taubat (sering disebut taubat nasuha), maka hapuslah segala dosa orang itu di sisi Tuhan. Pengertian taubat yang demikian ini, agaknya telah diserap oleh berbagai kalangan umat islam, sehingga akhirnya telah berujud suatu warna tingkah laku keagamaan.

Tentu saja kalangan umat islam telah memberikan penafsiran terhadap konsep taubat berdasarkan kesejarahan dan pengalaman keagamaan serta budaya masing – masing. Tetapi dari sekian penafsiran yang terjadi, yang menarik adalah timbulnya suatu tingkah laku yang mencoba membuat garis pemisah antara ketaatan beribadah (agama) dengan perbuatan sosial (politik). Dengan adanya taubat yang akan menebus segala dosa, maka ada golongan yang berpandangan, tidak ada masalah melakukan berbagai kejahatan (dosa) sekarang ini, asal nanti sebelum mati dapat taubat dengan segera. Dengan demikian, mereka tidak merasa perlu melakukan ibadah dari sekarang. Begitu pula, tidak perlu berbuat baik dari sekarang. Nanti, setelah tua atau setelah pensiun, lakukanlah ibadah dengan baik, kemudian taubatlah.

Penganut penafsiran taubat seperti ini meskipun belum sampai membentuk suatu aliran yang resmi, tetapi jumlahnya masih banyak yang menganut pemahaman sekularisme. Para penguasa (machtsstaat), sangat mudah kena pengaruh pandangan ini. Karena itu, mereka tidak merasa apa-apa melakukan korupsi, kolusi dan nepotisme semasa berkuasa. Sebab, mereka berharap nanti setelah kaya raya dan pensiun, mereka akan taat beribadah, lalu kalau mungkin naik haji dan berakhir taubat. Dengan demikian, menurut mereka habislah segala dosa yang dilakukan semasa jadi pejabat atau wakil rakyat. Begitu pula kalangan lainnya, seperti pelaku dosa judi, zina, minuman keras dan narkotik. Mereka berpikir, semua dosa ini akan hapus kelak, setelah mereka taubat.

Apabila agama dan politik terpisah maka kekacauan dan kehancuran terjadi. Kalau engkau berikan kekuasaan pada orang yang zalim maka engkau ikut bersekongkol dalam kezaliman itu. Pandangan atau tingkahlaku keagamaan seperti ini, amat membahayakan citra islam dalam medan kehidupan di zaman kehidupan ini. Perbuatan ini sebenarnya sekularisme, yang memishkan antara ibadah (agama) dengan perbuatan sosial (politik).

Dalam sekularisme agama dengan negara (politik), fungsi agama sudah terang tidak akan mencampuri urusan negara. Bahkan, para warga disamping bebas memilih agama, tidak beragama juga tidak apa-apa. Bila agama tidak menyentuh masalah politik, sosial, ekonomi, pengetahuan umum, lalu apa yang disentuh agama ?

Pada hakekatnya dalam sekularisme negara dengan agama, jika pemeluk (umat islam) menjalankan syariat dengan baik, tentu sekularisme itu tidak bernilai apa-apa terhadap mereka. Inilah yang terjadi dalam kehidupan umat islam, semasa mereka berada dalam  cengkraman negara komunis, seperti muslim checnya, bosnia dan kosovo. Sementara di negara-negara barat yang menganut sekularisme agama dan negara, islam malah berkembang dengan baik. Ini terjadi, karena mereka tidak memisahkan antara ibadah dengan tindakan sosial. Ibadah mereka sekaligus terlukis dalam perbuatan.

Keadaan ini akan semakin menarik, ketika kita menoleh pada kualitas umat islam indonesia. Negara ini, sudah mayoritas memeluk islam, dipimpin pula oleh pejabat dan wakil rakyat yang mayoritas islam. Tetapi, bekas ajaran islam yang baik dan cemerlang, hampir tak dijumpai dalam realitas kehidupan. Justru, di negara inilah dijumpai orang yang paling serakah dan para penguasa yang ambisinya sampai mati, sehingga hampir tak ada peluang generasi muda islam tampil ke depan.

Disinilah berlaku korupsi dengan skala besar, yang berlangsung dengan aman, karena yang merancangnya adalah para elite partai berpaham sekularis. Di negara ini pulalah berlaku kolusi dan nepotisme dengan begitu rancak. Akibatnya, tak ada peluang lagi bagi generasi muda islam yang bersih dan punya iktikad baik untuk memberi marwah bagi negara ini. Oleh karena itu, tak heranlah jika Taufik Ismail pelopor Sastrawan Angkatan 66 itu, sampai menarik nafas panjang “malu aku jadi warga Indonesia”. Konklusi yang tepat dari uraian di atas adalah agama dan politik tidak bisa dipisahkan.

Penulis: Ridho Imam Ashari.
Ketua Bidang Penelitian, Pengembangan dan Pembinaan Anggota HmI Komsat Hukum UIR