Sabtu, 10 Oktober 2020
Omnibus Law Buat Siapa
Ketika sebuah lembaga tinggi negara legislatif (DPR) dan Eksekutif (Presiden) telah dipilih dan dipercayai untuk membuat keputusan penting. Apa yang disebut pemerintah tidak dapat mengambil satu langkah tanpa terlebih dahulu mendapatkan persetujuan dewan umum. Sebagai negara menganut sistem demokrasi, keputusan tertinggi tidak pernah berada ditangannya, tetapi di tangan mayoritas Parlemen. Hal ini membuktikan keputusan selalu dibuat oleh mayoritas. Namun sayang hanya sekedar Fraksi kecil dari segolongan orang yang mempunyai pengetahuan dan pengalaman tentang masalah yang akan dibahas. Katakanlah, masalah tentang disahkannya Undang-Undang Cipta Kerja melalui konsep Omnibus Law. Sehingga hak individu di desak untuk mengambil posisi mengikuti kebijakan mayoritas yang benar-benar tidak sesuai dengannya. Sistem seperti ini dengan perlahan menghancurkan karakternya.
Jika ditinjau secara substantif UU Cipta Kerja mengandung unsur yang menghianati atau telah memperkosa kepentingan rakyat khusnya para buruh. Untuk mengetahui secara lebih jauh, penulis akan menjelaskan beberapa perbedaan UU Cipta Kerja dengan Ketentuan sebelumnya (Undang-Undang Ketenagakerjaan).
Pertama, terkait masalah pesangon yang terlihat lemah. Salah satunya uang penggantian hak ditiadakan sementara jelas dalam ketentuan sebelumnya diatur dalam pasal 156 ayat (4) Undang-Undang Ketenagakerjaan.
Kedua, masalah pemutusan hubungan kerja (PHK) sangat menciderai hak buruh. Salah satunya status kerja yang mana pekerja tersebut dapat menjadi pekerja kontrak seumur hidup sementara aturan sebelumnya Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) maksimal 2 tahun, lalu boleh diperpanjang kembali dalam waktu 1 tahun (pasal 59 UUK).
Ketiga, tenaga kerja asing dikasih angin dalam bekerja sebagai pekerja di negeri tercinta ini. Dapat kita lihat pada (pasal 43 dan pasal 44 UU Cipta Kerja) yang lebih mudah dibandingkan dengan pasal 42 ayat (1), pasal 43 ayat (1) dan pasal 44 ayat (1) yang lebih ketat.
Keempat, masalah upah. Meniadakan Upah Minimum Sectoral Kabupaten/Kota (UMSK) dan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK), sehingga peraturan Upah hanya berdasarkan Upah Minimum Provinsi (UMP). Padahal dalam UUK "setiap wilayah diberikan hak untuk menetapkan kebijakan Upah Minimum mereka sendiri baik di tingkat Provinsi dan tingkat Kabupaten/Kotamadya (Pasal 89 UUK).
Hal ini menunjukkan secara perlahan menuju pemerintahan yang sentralistik dan secara tidak langusung telah menangguhkan Konstitusi (Pasal 18 UUD 1945).
Terlihat jelas bahwa memang hak buruh hasil produk UU Cipta Kerja telah tampak ada perusakan hati nurani para buruh. Jika kekuasaan pemerintah telah mengarah menuju kerusakan, maka pemberontakan bukan hanya hak setiap rakyat tetapi juga kewajibannya. Menandakan UU Cipta Kerja tersebut keberpihakan terhadap segelintir kelompok semata. Artinya UU tersebut tidak mencerminkan rasa keadilan.
Maka patut dan selayaknya sejumlah elemen masyarakat umumnya serta menarik simpati para aktivis intelektual menyerukan aksi pemberontakan "Tolak UU Cipta Kerja Melalui Konsep Omnibus Law".
Demi rakyat Indonesia, Telah banyak para pejuang demokrasi yang membahayakan dirinya ditengah pandemi Covid-19 dan banyak pula yg bercucuran darah saat menyuarakan hak rakyat dan buruh, semoga pemerintah dan DPR membayarnya dengan mendengar suara rakyat, sudah sepatutnya pemerintah dan DPR serta lembaga tinggi negara berbuat untuk rakyat bukan sebaliknya.
Pemberontakan dalam hal ini, tidak melawan bangsa dan tidak melawan negara, melainkan pemberontakan untuk melawan tindakan pemerintahan yang dalam keyakinan mereka menyebabkan kerusakan pada bangsa sendiri.
Wahai para DPR yang terhormat, rakyatmu memilih tuan melalui jalur politik yang sering disebut dengan pemilu seusai itu kau tinggalkan mereka! Namun lucu pada saat rakyat ingin memberhentikan tuan dari jabatan politik harus melalui hukum.
Ingat para pejabat doa rasulullah untuk mu "Ya Allah, siapa yang mengemban tugas mengurusi umatku kemudian ia menyusahkan mereka, maka susahkanlah dia; dan siapa yang mengemban tugas mengurusi umatku dan memudahkan mereka, maka mudahkanlah dia." (HR Muslim dan Ahmad).
HmI Hukum UIR adalah salah satu komisariat HmI yang berada dibawah Naungan HmI cabang Pekanbaru. Komisariat HmI yang satu ini mengambil zona pergerakannya di Kampus Universitas Islam Riau (UIR), Atau lebih tepatnya berada difakultas Hukum UIR Pekanbaru. Oleh karna zona pergerakannya berada difakultas Hukum UIR, Maka Komisariat HmI ini melekat Akrab dengan sebutan HmI Hukum UIR.
Omnibus Law Buat Siapa
Ketika sebuah lembaga tinggi negara legislatif (DPR) dan Eksekutif (Presiden) telah dipilih dan dipercayai untuk membuat keputusan penting. Apa yang disebut pemerintah tidak dapat mengambil satu langkah tanpa terlebih dahulu mendapatkan persetujuan dewan umum. Sebagai negara menganut sistem demokrasi, keputusan tertinggi tidak pernah berada ditangannya, tetapi di tangan mayoritas Parlemen. Hal ini membuktikan keputusan selalu dibuat oleh mayoritas. Namun sayang hanya sekedar Fraksi kecil dari segolongan orang yang mempunyai pengetahuan dan pengalaman tentang masalah yang akan dibahas. Katakanlah, masalah tentang disahkannya Undang-Undang Cipta Kerja melalui konsep Omnibus Law. Sehingga hak individu di desak untuk mengambil posisi mengikuti kebijakan mayoritas yang benar-benar tidak sesuai dengannya. Sistem seperti ini dengan perlahan menghancurkan karakternya.
Jika ditinjau secara substantif UU Cipta Kerja mengandung unsur yang menghianati atau telah memperkosa kepentingan rakyat khusnya para buruh. Untuk mengetahui secara lebih jauh, penulis akan menjelaskan beberapa perbedaan UU Cipta Kerja dengan Ketentuan sebelumnya (Undang-Undang Ketenagakerjaan).
Pertama, terkait masalah pesangon yang terlihat lemah. Salah satunya uang penggantian hak ditiadakan sementara jelas dalam ketentuan sebelumnya diatur dalam pasal 156 ayat (4) Undang-Undang Ketenagakerjaan.
Kedua, masalah pemutusan hubungan kerja (PHK) sangat menciderai hak buruh. Salah satunya status kerja yang mana pekerja tersebut dapat menjadi pekerja kontrak seumur hidup sementara aturan sebelumnya Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) maksimal 2 tahun, lalu boleh diperpanjang kembali dalam waktu 1 tahun (pasal 59 UUK).
Ketiga, tenaga kerja asing dikasih angin dalam bekerja sebagai pekerja di negeri tercinta ini. Dapat kita lihat pada (pasal 43 dan pasal 44 UU Cipta Kerja) yang lebih mudah dibandingkan dengan pasal 42 ayat (1), pasal 43 ayat (1) dan pasal 44 ayat (1) yang lebih ketat.
Keempat, masalah upah. Meniadakan Upah Minimum Sectoral Kabupaten/Kota (UMSK) dan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK), sehingga peraturan Upah hanya berdasarkan Upah Minimum Provinsi (UMP). Padahal dalam UUK "setiap wilayah diberikan hak untuk menetapkan kebijakan Upah Minimum mereka sendiri baik di tingkat Provinsi dan tingkat Kabupaten/Kotamadya (Pasal 89 UUK).
Hal ini menunjukkan secara perlahan menuju pemerintahan yang sentralistik dan secara tidak langusung telah menangguhkan Konstitusi (Pasal 18 UUD 1945).
Terlihat jelas bahwa memang hak buruh hasil produk UU Cipta Kerja telah tampak ada perusakan hati nurani para buruh. Jika kekuasaan pemerintah telah mengarah menuju kerusakan, maka pemberontakan bukan hanya hak setiap rakyat tetapi juga kewajibannya. Menandakan UU Cipta Kerja tersebut keberpihakan terhadap segelintir kelompok semata. Artinya UU tersebut tidak mencerminkan rasa keadilan.
Maka patut dan selayaknya sejumlah elemen masyarakat umumnya serta menarik simpati para aktivis intelektual menyerukan aksi pemberontakan "Tolak UU Cipta Kerja Melalui Konsep Omnibus Law".
Demi rakyat Indonesia, Telah banyak para pejuang demokrasi yang membahayakan dirinya ditengah pandemi Covid-19 dan banyak pula yg bercucuran darah saat menyuarakan hak rakyat dan buruh, semoga pemerintah dan DPR membayarnya dengan mendengar suara rakyat, sudah sepatutnya pemerintah dan DPR serta lembaga tinggi negara berbuat untuk rakyat bukan sebaliknya.
Pemberontakan dalam hal ini, tidak melawan bangsa dan tidak melawan negara, melainkan pemberontakan untuk melawan tindakan pemerintahan yang dalam keyakinan mereka menyebabkan kerusakan pada bangsa sendiri.
Wahai para DPR yang terhormat, rakyatmu memilih tuan melalui jalur politik yang sering disebut dengan pemilu seusai itu kau tinggalkan mereka! Namun lucu pada saat rakyat ingin memberhentikan tuan dari jabatan politik harus melalui hukum.
Ingat para pejabat doa rasulullah untuk mu "Ya Allah, siapa yang mengemban tugas mengurusi umatku kemudian ia menyusahkan mereka, maka susahkanlah dia; dan siapa yang mengemban tugas mengurusi umatku dan memudahkan mereka, maka mudahkanlah dia." (HR Muslim dan Ahmad).
HmI Hukum UIR adalah salah satu komisariat HmI yang berada dibawah Naungan HmI cabang Pekanbaru. Komisariat HmI yang satu ini mengambil zona pergerakannya di Kampus Universitas Islam Riau (UIR), Atau lebih tepatnya berada difakultas Hukum UIR Pekanbaru. Oleh karna zona pergerakannya berada difakultas Hukum UIR, Maka Komisariat HmI ini melekat Akrab dengan sebutan HmI Hukum UIR.
Langganan:
Postingan (Atom)